IBARAT makan buah simalakama, alergi obat memang sangat merepotkan. Jika tidak diminum, penyakit tidak akan sembuh dan semakin merajalela, sementara jika diminum malah menimbulkan alergi.
Penelitian terhadap alergi obat sudah sering kali dilakukan. Beberapa penelitian mengungkapkan reaksi yang tidak diinginkan pada penggunaan obat terjadi sekitar 2 persen dari sejumlah pasien yang mengonsumsi obat. Reaksi alergi obat ini biasanya ringan. Namun, menurut Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin dr Dewi Inong Irana SpKK, alergi yang diterima tubuh bukan hanya karena obat berbahan kimia. Minuman suplemen, obat herbal bahkan jamu dapat menimbulkan reaksi alergi. Indikasinya pun hampir mirip dengan obat kimia.
Dia menjelaskan, alergi adalah reaksi yang berlebihan terhadap apapun yang dimasukkan ke dalam tubuh termasuk obat. Ketika diminium, di dalam tubuh terdapat proses sentisisasi yang akhirnya menimbulkan penolakan berlebihan yang tidak mengenakkan sehingga merugikan tubuh sendiri.
Reaksi itu, lanjut Dewi, bisa berupa gatal, sesak napas, penurunan tekanan darah, reaksi kulit disertai kelainan pada selaput lendir saluran cerna hingga sindrom Stevens-Johnson dan Toksik Epidermal Nekrolizing (TEN).
”Reaksinya tergantung pada orangnya. Setiap orang bisa berbeda, tidak bisa diprediksi. Karena itu jangan disepelekan,” katanya.
Alergi obat diketahui berbahaya apabila telah sampai pada tahap parah dengan tanda seperti sariawan di rongga mulut ataupun adanya selaput lendir di mata. “Bahkan kalau tidak diobati segera dapat menimbulkan kematin,” terang Dewi.
Kematian karena alergi, tidak hanya terjadi di negara berkembang, juga di negara maju yang fasilitas kesehatannya supermaju. Bahkan, di negara-negara Eropa masih terjadi kematian karena alergi obat. Oleh karena itu, di Eropa dibentuk jaringan pemantau alergi obat yang merekam semua kejadian dan memberikan informasi alergi obat yang sering terjadi.
Obat yang biasa menimbulkan alergi, terang dia, biasanya dari golongan antibiotika penisilin, sulfonamide, obat antipiretik (penghilang rasa panas) atau obat analgetik (penghilang rasa sakit). Obat ini biasanya dijual bebas. Karena sering menimbulkan alegi, obat antibiotika seharusnya tidak diminum tanpa resep dokter. “Tapi, banyak yang membeli sendiri tanpa resep dokter,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Dewi, penderita alergi obat ini diketahui terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, dia tidak menyebutkan angka pastinya. Meskipun begitu, kita harus tetap waspada saat mengkonsumsi obat. Dewi mengatakan, penderita alergi obat tidak dapat diketahui secara kasat mata.
Bahkan, kata dia, reaksi alergi tidak langsung terjadi saat minum obat pertama kali. Ada yang sudah mengkonsumsi obat tersebut bertahun- tahun, namun reaksinya baru berlangsung baru-baru saja. “Ada kasus pasien epilepsi yang sudah meminum obat epilepsi selama enam tahun baru timbul reaksi alergi,” ungkap Dewi.
Hal itu, terang dia, karena bisa jadi proses sentisisasi di dalam tubuhnya berlangsung lambat. Dapat juga terjadi walaupun tidak sering, seorang yang semula tidak alergi terhadap suatu obat kemudian hari bisa pula menjadi alergi obat. Karena itu, Dewi meminta untuk berhati-hati ketika kita meminum sebuah obat. Terutama segera menghentikan mengkonsumsi ketika imbul gejala gatal atau sesak napas.
Demikian pula berat ringannya reaksi alergi. Seseorang mungkin langsung syok tak sadarkan diri sesaat setelah minum obat yang membuatnya alergi.
Sementara yang lain hanya gatal, beberapa saat kemudian hilang gatalnya. Bagi kalangan awam, reaksi alergi dianggap keracunan.
Untuk menghindari terjadinya alergi obat, kata Dewi, perlu kerja sama antara pasien dan dokter. Pasien harus mengemukakan pengalamannya menggunakan obat selama ini, apakah obat tertentu membuat tubuh alergi atau dicurigai menimbulkan alergi. Dia menyarankan bagi yang telah terserang gejala seperti diatas segera memeriksakan ke dokter.
Nantinya, dokter akan memberikan semacam kartu kepada pasien yang berisi catatan alergi pasien, sehingga dia tidak akan memberikan obat yang sama pada pasien tersebut. Untuk menghentikan alergi obat, memang hanya ada satu cara yaitu dengan menghentikan pemakaian obat itu, dan mengatasi keadaan yang timbul akibat alergi.
“Jadi, sebenarnya dokter itu tidak tahu dia alergi apa saja. Makanya dia akan bertanya sebelum diperiksa apakah dia alergi obat tertentu atau tidak. Kalaupun misalnya ada pasien yang merasa sakit setelah meminum obat tertentu, si dokter tidak bisa disalahkan karena ini tidak bisa diprediksi,” tuturnya.
Dewi menuturkan, banyak pihak berpendapat bahwa kasus alergi disamakan dengan malpraktik, terlebih jika mengakibatkan efek berat semisal Steven Johnson Syndrome atau akibat fatal misalnya kematian. Karena itu, terlepas dari kendala menyangkut alergi obat, sudah selayaknya para dokter melengkapi dirinya (praktik pribadi ataupun bekerja di institusi layanan medis) dengan peranti rekam medik.
Senada dengan itu, Guru Besar Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr dr Armen Muchtar DAF DCP Sp FK (K) mengatakan, besar dan parahnya alergi obat yang terjadi itu tidak bisa ditentukan. Karena proses alergi tergantung dari dua sisi yaitu orang dan obatnya itu sendiri. “Setelah reaksi obat itu terjdi di tubuh, kita harus hati-hati. Segera periksa ke dokter dan hentikan mengkonsumsi obat tersebut lagi,” tandasnya.
Armen menuturkan, biasanya penderita alergi obat karena faktor keturunan dimana terdapat riwayat keluarganya yang juga alergi terhadap suatu obat. “Juga penderita asma atau penyakit-penyakit menahun biasanya mereka alergi obat. Dia memiliki auto-imun di dalam tubuhnya yang kecenderungan bereaksi saat meminum obat tertentu,” katanya.
0 comments:
Post a Comment